Tribratanewsjepara.com – Semakin maraknya tindak pidana yang menyasar anak sebagai korban tindak kejahatan dan tindak kekerasan, atau bahkan lebih khususnya kejahatan seksual terhadap anak menyentak perhatian khalayak secara nasional. Bukan cuma kalangan pemerhati anak yang merasa kecolongan, semua elemen bangsa menumpahkan keprihatinan dan kekesalannya secara mendalam dan merasa tak habis pikir terhadap berulangnya masalah tersebut.
Tidak dapat dipungkiri, di luar sana di tengah-tengah masyarakat, perhatian keluarga dan lingkungan sekitar terhadap perilaku dan pengawasan anak dirasakan masih sangat kurang. Masyarakat dinilai masih terlalu abai dan kurang peduli dengan perilaku ganjil dan berbagai permasalahan yang mungkin saja dihadapi anak atau bahkan bahaya yang kapan saja mengintai dan mengancam keselamatan anak, khususnya kekerasan terhadap anak.
Kekerasan terhadap anak memiliki banyak bentuknya mulai dari kekerasan fisik hingga kekerasan seksual. Pasal 3 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) dan pasal 5 UU PKDRT menyebut kekerasan terhadap anak meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran. Biasanya kekerasan tidak jarang dilakukan anggota keluarga terdekat atau lingkungannya, misalnya orang tua, saudara, guru, bahkan teman sebaya atau teman sekolahnya. Peran media online saat ini tidak dapat disangkal turut memberikan kontribusi besar menempatkan anak sebagai korban tindak kekerasan.
Berbagai kekerasan rumah tangga yang dilakukan orang dewasa dengan korban anak-anak, tindak kejahatan seksual dengan anak sebagai korban dan bahkan perkembangan psikis anak yang seringkali diabaikan menyebabkan anak tidak mengalami tumbuh kembang normal sebagaimana mestinya, padahal tidak dapat disangkal anak merupakan generasi yang sedang dalam proses tumbuh kembang yang sangat menentukan bagi kemajuan sebuah bangsa di masa depan.
Sebut saja kejadian akhir-akhir ini yang membelalakkan mata khalayak. Pada penghujung bulan Agustus 2016, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri berhasil mengungkap tindak kejahatan seksual dengan anak sebagai korban, dimana terjadi prostitusi gay pedofile dengan jumlah korban yang sangat fantastis dimana dari 103 orang korban, 31 di antaranya masih anak-anak.
Merujuk data KPAI sepanjang tahun 2011-2016, setidaknya dari 20 ribu lebih kasus perlindungan terhadap anak secara kumulatif, yang mencapai puncaknya pada tahun 2015, terdapat 1.328 kasus menempatkan anak sebagai korban eksploitasi sebagai pekerja, seks komersial, prostitusi online, perdagangan dan penculikan. Sedangkan 1.462 kasus lainnya, menempatkan anak terlibat dalam pusaran kasus pornografi dan kejahatan dunia maya (cyber crime).
Pertanyaannya kemudian, dimanakah orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan, LSM pemerhati anak dan bahkan pemerintah, sehingga kejadian mengerikan semacam itu bisa terjadi tanpa terdeteksi sama sekali dan sampai terlanjur mengakibatkan banyak anak menjadi korban. Tentu saja, semua pihak merasa ada yang salah ketika melihat kenyataan seperti ini terjadi. Akan tetapi sangat jarang yang bertanya dan mencoba melihat ke belakang untuk evaluasi, ada apa sampai peristiwa keji seperti ini terus berulang setelah sebelumnya kasus-kasus serupa sudah pernah terjadi, seolah semua pihak tidak pernah belajar dari kejadian sebelumnya.
Polri, lebih khusus Bareskrim Polri harus diapresiasi karena telah mampu mengungkap peristwa pidana yang membuat trenyuh semua orang di republik ini. Namun demikian, yang terpenting adalah bagaimana proses penegakan hukum terhadap tindak pidana seperti ini mampu memberikan efek jera bagi pelaku dengan menerapkan hukuman maksimal, atau bahkan ada upaya-upaya serius dari berbagai pihak untuk menciptakan daya tangkal (preemptif) dan daya cegah (preventif) terhadap berulangnya kejadian serupa di masa-masa yang akan datang.
Sesungguhnya, banyak pihak yang mampu mengambil peran sesuai dengan porsinya dan kewenangannya. Polri tentu saja harus membangun budaya dan paradigma yang kuat di benak anggota polisi untuk pro aktif dan responsif melakukan upaya-upaya preemtif, preventif dan bahkan represif sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki. Kalangan LSM pemerhati anak didorong untuk membangun jaringan sampai tingkat kabupaten kota bahkan kecamatan. Pemerintah melalui lembaga terkait terutama Kemendikbud dan Kemensos harus membangun sistem pendidikan dan sistem sosial yang melibatkan anak hanya berinteraksi dengan lingkungan dan komunitas yang baik. Sedangkan Kemenkominfo harus mampu membangun sistem yang mampu membatasi anak dalam mengakses konten dewasa dan menghindarkan anak sebagai bagian dari cyber crime.
Harus ada upaya percepatan penempatan Babinkamtibmas yang merata di seluruh desa dan kelurahan, atau paling tidak untuk saat ini Babinkamtibmas harus dibekali dengan komitmen dan kemampuan teknis mengarahkan keluarga dan masyarakat untuk lebih peduli dan mengawasi setiap gerak gerik dan tindak tanduk anak di lingkungannya. Babinkamtibmas juga perlu ditempa paradigmanya agar proaktif dan responsif untuk turut berperan aktif mengawasi setiap perilaku dan gerak-gerik anak di lingkungan desa/kelurahan.
Pada tahap perkembangan psikologis anak hingga masuk tahap remaja akhir sampai menuju dewasa awal, peran Babinkamtibmas dan seluruh pemangku kepentingan di desa/kelurahan termasuk Babinsa, kepala desa/lurah dan aparat desa/kelurahan dan organisasi-organisasi kepemudaan seperti Karang Taruna harus mampu menciptakan kegiatan yang positif dan konstruktif, baik dalam bentuk olahraga atau keterampilan yang mampu menampung seluruh minat dan bakat anak-anak, sehingga menghindarkan anak melakukan aktivitas negatif atau berinteraksi dengan orang yang memiliki orientasi sosial dan seksual menyimpang.
Semua pihak hendaknya lebih proaktif dan responsif menyangkut upaya menjamin masa depan anak, termasuk menghindarkan berbagai ancaman bahaya kekerasan yang menempatkan anak sebagai korban ataupun pelaku. Baik buruknya bangsa ini lima puluh atau bahkan seratus tahun kemudian sangat tergantung dari perhatian, pengawasan dan pengelolaan pendidikan yang baik terhadap tumbuh kembang anak. Bahkan filsafat China mengungkapkan apabila rencanamu 1 tahun maka tanamlah padi, apabila rencanamu 10 tahun, tanamlah pohon, dan apabila rencanamu 100 tahun maka didiklah anak-anak.
- penulis adalah Karobankum Divkum Polri